PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DAN BUDAYA KOTA
Oleh Sutiyono
Sebelum dekade 1990-an, kita sering menikmati pertunjukan wayang kulit pada acara perhelatan (orang punya kerja), baik khitanan maupun perkawinan. Selain itu pertunjukan wayang kulit dapat dijumpai dalam event-event tradisional, seperti malam Satu Suro, merti dusun, mboyong mbok Sri (ritual pasca panen), dan sadranan yang selalu berputar dalam setiap tahun. Rasanya, jagad pertunjukan wayang kulit waktu itu tak pernah tenggelam dalam kehidupan masyarakat Jawa, lantaran hampir setiap waktu orang bisa melihat pertunjukan tersebut.
Di Yogyakarta, situasinya sekarang telah berubah. Sekarang ini jarang kita dapati seseorang yang tengah mempunyai perhelatan, entah itu perkawinan ataupun khitanan, merayakannya dengan mengundang pertunjukan wayang kulit. Jika punya perhelatan tersebut, orang Jawa lebih senang merayakannya tanpa dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit, atau sering disebut climen (diam-diam/sederhana). Selain itu, pertun-jukan wayang kulit kenyataannya juga sulit dijumpai dalam event-event tradisional.
Sekarang ini, jika terdapat pertunjukan wayang kulit biasanya dapat dijumpai dalam acara-acara seperti dies natalis Perguruan Tinggi (PT), lustrum sekolah-sekolah/lembaga pendidikan kursus, ultah media cetak, ultah pabrik, ultah pondok pesantren, hari jadi kabupaten, syukuran parpol pemenang, syukuran pejabat terpilih, peresmian gedung pemerintah, peresmian supermarket/pasar, di taman budaya, objek-objek wisata, dan layar kaca.
Tak tangung-tanggung, pertunjukan wayang kulit yang didatangkan untuk merayakan acara-acara tersebut adalah pertunjukan wayang kulit dengan dalang kondang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Joko Edan, dan Ki Purba Asmara, yang harganya bisa mencapai 80-an juta rupiah. Besarnya harga tersebut karena juga harus menanggung beaya kehadiran bintang tamu, grup lawak, dan grup campursari yang turut serta memeriahkan pertunjukan wayang kulit.
Setiap tahun, pertunjukan wayang kulit tersebut dapat dijumpai di sekitar Yogyakarta, misalnya pada acara ultah SKH Kedaulatan Rakyat, Dies Natalis UNY, dan Dies Natalis UGM yang sekarang perayaannya lebih banyak dipusatkan di fakultas-fakultas. Sementara PT yang lain, sekolah, lembaga pendidikan kursus, pasar, pabrik, kantor pemerintah (pusat-daerah), parpol juga menyelenggarakan pentas yang sama, namun tidak rutin setiap tahun. Jenis dalang yang diundang pun kadang-kadang bukan dalang kondang, mengingat terbatasnya dana yang dimiliki.
Jika ditilik dari pihak penyelenggara pertunjukan wayang kulit dapat dibagi dalam tiga sentra. Pertama, sentra pemerintahan, yaitu kantor pemerintah (pusat-daerah) beserta kantor dinas/instansi. Kedua, sentra pendidikan, yaitu lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, misalnya PTN, PTS, lembaga pendidikan kursus, dan pondok pesantren. Ketiga, sentra perdagangan/industri, yaitu pasar, supermarket, pabrik, media, dan objek wisata. Tampaknya hanya ketiga sentra itulah yang mampu meyelenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan beaya besar, karena ketiga sentra itu merupakan basis-kekuatan kapital dan sebagai pusat-pusat sumber produksi yang menggerakkan vitalitas budaya kota. Bukankah yang disebut wilayah perkotaan (kosmopolitan) atau ciri-ciri budaya kota adalah munculnya tiga sentra, antara lain: sentra pemerintahan, sentra pendidikan, dan sentra perdagangan/industri. Ketiga sentra ini tidak akan ditemukan dalam wilayah pelosok pedesaan.
Tentu saja muncul pertanyaan, mengapa ketiga sentra itu hingga sekarang masih menganggap penting hadirnya sebuah pertunjukan wayang kulit? Karena pertunjukan wayang kulit merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif untuk menyosialisasikan program-program pemerintahan-pembangunan, pendidikan, dan perdagangan/industri. Seperti yang belum lama berselang, Dies Natalis UNY pada pertengahan Mei 2007, yang dimeriahkan oleh pertunjukan wayang kulit dengan dalang Ki Purba Asmara (tahun lalu oleh Ki Anom Suroto), jelas di antaranya dipesan untuk menyosialisasikan visi dan misi UNY. Pesan itu dituturkan dalang, baik lewat adegan kedhatonan (limbukan) maupun gara-gara. Dua adegan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ini lebih banyak menonjolkan lawakan, sehingga mudah disisipi pesan-pesan sponsor atau visi-misi penyelenggara pertunjukan. Dialog Limbuk-Cangik (adegan kedhatonan) dan Semar-Gareng-Petruk-Bagong (adegan gara-gara) dapat dikemas dalam suatu analogi permainan yang bersifat humanistis interpretatif (pinjam istilah Erving Goffman). Dalam suatu dialog yang dibangun pada sebuah analogi permainan, mereka (tokoh-tokoh lawakan) tampak luwes, memikat, tidak kaku, lebih informal, dan yang penting humanistis. Cara komunikasi ini mudah diterima penonton/masyarakat Hal ini berbeda jika sebuah visi-misi atau suatu pesan disampaikan langsung oleh seorang pejabat, yang biasanya tampak tegang dan kaku, bahkan bicaranya sulit diterima masyarakat karena dianggap abstrak. Oleh karenanya, untuk menjembatani persoalan ini, seni pertunjukan wayang kulit dijadikan sarana komunikasi, karena terbukti lebih efektif.
Di samping untuk sarana komunikasi, pertunjukan wayang kulit itu sendiri juga masih dilihat (digemari) oleh ribuan penonton, bahkan jutaan pasang mata manusia jika ditayangkan TV. Dalam hubungan ini penonton/masyarakat merupakan sasaran pertunjukan. Seandainya pertunjukan wayang kulit di Yogyakarta tidak ada yang menonton, tentu lembaga-lembaga pemerintahan, pendidikan, dan industri-perdangan itu tak akan mau mengundang wayang kulit. Sesungguhnya kehadiran penonton pertunjukan wayang kulit, baik dalam jumlah besar maupun kecil mengindikasikan bahwa seni pertunjukan ini masih memiliki masyarakat pendukung. Coba bandingkan dengan seni karawitan yang sudah kehilangan penonton sejak lama. Bagaimanapun pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan di wilayah perkotaan, baik dalangnya kondang maupun tidak, tetap akan selalu dihadiri penonton. Contoh pertunjukan wayang kulit yang berlangsung setiap malam Minggu ke-2 di Sasanahinggil Alun-alun Selatan, entah dalangnya kondang atau tidak, selalu dihadiri penonton.
Penduduk wilayah perkotaan yang biasa disibukkan oleh pekerjaan siang-malam, kenyataannya tetap menggemari pertunjukan wayang kulit. Menurut observasi penulis, jumlah penonton pertunjukan wayang kulit yang setiap tahun digelar dengan dalang kondang pada acara ultah SKH Kadaulatan Rakyat, dies natalis UGM, UNY ada 3.500-an orang. Perkiraan jumlah sebesar itu berasal dari penghitungan para penonton yang duduk mengikuti jalannya pertunjukan semalam suntuk, serta mereka yang keluar-masuk, datang-pergi, dan lalu-lalang di sekitar area penonton. Demikian pula pertunjukan wayang kulit dengan dalang kondang yang pernah digelar di USD, UAJ, Prima Gama, Pendopo Taman Siswa, Area Taman Wisata Candi Prambanan, Balai Kota, Pemda Bantul, dan halaman TVRI Yogyakarta juga mencapai 3.500-an orang. Data ini menun-jukkan bahwa budaya kota Yogyakarta mendukung eksistensi seni pertunjukan wayang kulit, dan sekaligus mencabar persepsi sementara kalangan yang menganggap pertunjukan wayang kulit sudah mulai kehilangan masyarakat pendukungnya.***
Yogya 7/06/07-Penulis, dosen FBS Univ Negeri Yogyakarta