PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM SENI PERTUNJUKAN

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM SENI PERTUNJUKAN[1]

Oleh: Dr. Sutiyono

Dosen Fak. Bhs & Seni, Univ. Negeri Yogyakarta

Berdiskusi tentang fenomenologi tentu tidak luput dengan apa yang disebut sebagai fenomena, yaitu fenomena apa saja yang muncul dan terlihat oleh mata manusia. Konsekwensi setelah melihat fenomena adalah berpikir, untuk menghasilkan apa saja yang dialami secara  kenyataan. Fenomenologi sesungguhnya mengharap diri kita untuk melihat dengan cara  baru mengenai aspek-aspek kehidupan. Kita akan terhenyak dan berhenti dalam satu titik kesadaran, bahwa aspek-aspek kehidupan itu di dalamnya terdapat dimensi-dimensi yang menjadi pusat perhatian fenomenologi.

Berdasarkan hal itu, tampaknya tidak begitu susah untuk mempelajari fenomenologi, karena modalnya hanyalah melihat fenomena. Kenyataannya, para ahli sendiri tidak mudah mempelajari  fenomenologi yang ditulis seseorang sekaliber Edmund Husserl, yang dalam paparannya  berlipat-lipat jumlahnya.  Hal ini disebabkan cara pandang di dalam fenomenologi bertentangan dengan pendekatan-pendekatan ilmiah yang konvensional. Itulah yang menjadikan Husserl, ketika menyodorkan karya besarnya tentang fenomenologi pertama kali tidak mendapat respon dari para ahli. 

Orang yang telah mengklaim sejarah fenomenologi adalah  Herbert Spielgelberg, yang dalam pandangannya menyatakan  terlalu jauh untuk disebutkan bahwa fenomenologi itu jumlahnya banyak. Demikian pula kaum fenomenologis juga tidak banyak  (Zeitlin, 1995: 208). Padahal fenomenologi itu telah diperkenalkan sejak dekade abad ke-19. Baru pada dekade ketiga abad ke-20 terdapat pengkaji fenomenologi. Namun demikian rata-rata orang cukup kesulitan untuk memahami fenomenologi, meskipun orang tersebut telah membaca fenomenologi berkali-kali.

Hingga tahun 1945, Merleau-Ponty menganggap perlu untuk memulai kembali tentang kontroversi mutiara yang hilang, yaitu mempertanyakan karya utamanya dengan soal, apa itu fenomenologi? Ia menganggap aneh, bila pertanyaan ini masih saja selalu diperdebatkan, setelah memakan waktu sekitar setengah abad lamanya, setelah karya Husserl yang pertama itu. Kenyataannya, pertanyaan itu belum terjawabkan (Merleau-Ponty,  1962: vii). Pertanyaan yang mengarah untuk mempersoalkan fenomenologi itu akhirnya terjawab pada penghujung tahun 1967. Namun Kockemaus, orang yang menjadi editor penerbitan buku tentang fenomenologi memberi pandangan bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti apa fenomenologi itu? Untuk apa fenomenologi itu dibutuhkan? Dua pertanyaan itu merupakan persoalan yang amat sulit. Dalam penerbitan itu, fenomenologi belum menjawab seluruh pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya (Kockelmaus, 1967: 5).   

Untuk menjawab petanyaan itu penulis berusaha untuk mengeksplorasi teori-teori fenomenologi dari berbagai tulisan, baik tulisan yang benar-benar menjadi sentral pembahasan sebuah buku, maupun yang sifatnya parsial dari sekumpulan tulisan. Dalam hubungan ini penulis ingin mencoba memaparkan dimensi-dimensi fenomenologis yang sekiranya dapat memberikan pencerahan bagi peminat masalah fenomenologis.


[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Kajian Seni Interdisipliner” yang dilaksanakan oleh Jurusan Pendidikan Seni Musik FBS UNY, pada tanggal 14 Desember 2009.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PELATIHAN SENI TRADISIONAL BAGI MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS UNY KARANGMALANG

PELATIHAN SENI TRADISIONAL BAGI MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS UNY KARANGMALANG

 

Oleh

Dr. Sutiyono, dkk

A. Permasalahan

Sebuah persoalan kehidupan sosial kemayarakatan mulai menyeruak di lingkungan masyarakat perkotaan, dengan ditandai adanya distorsi nilai sopan-santun anak kepada orang tua, saudara, dan para tetangga. Angapan masyarakat pada umumnya tentang pergaulan masyarakat yang tidak terarah tersebut disebabkan seseorang yang tidak menghargai tatakrama. Padahal di dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang berwujud dalam bentuk tatakrama pergaulan itu menjadi tolok ukur yang harus dipatuhi bersama.

Hal itu juga dialami oleh masyarakat di sekitar kampus, yaitu para remaja dan pemuda di dusun Karangmalang. Mereka mulai kehilangan sopan-santun, karena tidak mengindahkan pranata sosial yang berlaku. Kecenderungan yang mengarah pada anomali sosial ini secara umum telah diramalkan oleh para pujangga masa lampau. Ramalan itu berbunyi sebagai berikut: kali ilang  kedhunge, pasar ilang kumandhange, desa ilang kuncarane, dan wong wadon ilang wirange.   

Sebagai contoh, hilangnya tatakrama itu juga berpengaruh langsung pada tata lahir (penampakan) seseorang dalam masyarakat. Wong wadon ilang wirange adalah tidak  berperilaku halus, berbusana minim,  dan naik montor kebut-kebutan di jalan kampung sehingga cenderung tidak mengormati orang yang berjalan di kanan-kiri jalan. Banyak orang tua merasa prihatin atas prilaku  wanita sekarang, dan juga prihatin terhadap prilaku anak-anak muda pada umumnya.    

Permasalahan utama mengapa anak-anak muda (remaja dan pemuda) sekarang telah kehilangan sopan-santun/etika pergaulan, tidak seperti masyarakat Jawa pada masa lampau. Mereka cenderung bebas dalam pergaulan, termasuk pergaulan di dalam masyarakat kampung/dusun Karangmalang di sekitar kampus UNY ini juga menjadi perhatian kepala dusun. Dalam hubungan ini, ia ingin menata kembali tatakrama pergaulan masyarakat, agar tidakterlalu jauh dalam bermasyarakat.   

B. Pelatihan Seni Tradisional

Dengan adanya berbagai masalah tersebut perlu dicarikan alternatif pemecahannya, sehingga anak-anak muda terjaga dari pergaulan yang tidak diinginkan orang tuanya.  Salah satu cara yang ditawarkan adalah melatih seni tradisional bagi masyarakat,  terutama adalah anak-anak kecil. Pelatihan seni tradisional lebih baik ditujukan kepada anak-anak kecil, karena mereka masih memiliki semangat untuk bermain dan mudah untuk menginternalisasi nilai-nilai sopan-santun, dibanding dengan orang dewasa.

Pelatihan seni tradisional berujud seni tari yang akan diikuti oleh sekitar 50 anak-anak usia 6 sampai 15 tahun. Para pelatih diambilkan dari dua orang mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Tari FBS UNY. Pelatihan diadakan seminggu sekali. Tempat pelatihan di Balai Dusun Karangmalang, dan waktu pelaksanaanya mulai bulan Juni dan berakhir bulan Agustus 2010. Puncak acara pelatihan seni tradisional adalah diadakan pentas seni dalam rangka malam tirakatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI (17-an) di Balai Dusun Karangmalang.

Secara global, mata acara pelatihan seni tradisional untuk anak-anak Dusun Karangmalang  dapat diperinci sebagai berikut.

1. Penjelasan umum mengenai prinsip dasar Pelatihan Seni Tradisional

2. Latihan Seni Tradisional

3. Pementasan

Seluruh mata acara tersebut didukung oleh para orang tua, kepala dusun, dan masyarakat Dusun Karangmalang.

C. Luaran Yang  Diharapan

 Kegiatan pelatihan seni tradisional  bertujuan  ganda. Di satu sisi dapat memberikan pengalaman bagi anak-anak atau secara kuktural juga dapat mengarahkan anak-anak untuk berbudi pekerti yang baik, di  sisi lain dapat dipergunakan sebagai ajang pelstarian seni tradisional itu sendiri. Dengan demikian posisi kampus UNY di tengah-tengah masyarakat seitar kampus adalah:

  1. Sebagai Sosialisasi seni tradisional kepada generasi muda, pelaksanaannya  lewat  pengenalan kepada anak-anak.
  2. Ikut berpartisipasi dalam memberdayakan anak-anak dalam melestarikan seni tradisional.
  3. Terjalinnya kerjasama  antara masyarakat kampus (UNY) dengan masyarakat sekitar kampus, agar peran kampus juga bermanfaat bagi masyarakat di sekitar kampus
  4. Dihasilkannya  satu repertoar seni tradisional untuk pengembangan etika anak di sekitar kampus

          Pelatihan seni tardisional untuk anak-anak ini dapat  dinyatakan berhasil jika:

  1. 75% peserta yang diundang hadir. Dalam artian setiap pelatihan  dapat dihadiri oleh para peserta minimal 75%.
  2. Dihasilkannya  minimal satu repertoar seni tradisional. Jika dalam pelaksanaanya dapat dihasilkan lebih dari satu repertoar membuktikan bahwa pelatihan seni tradisional dapat berjalan lancar dan benar-benar dinikmati para peserta.
  3. Sebagian  besar peserta menyatakan bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi masyarakat sekitar kampus untuk peningkatan
Posted in Uncategorized | Leave a comment

PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DAN BUDAYA KOTA

PERTUNJUKAN WAYANG KULIT  DAN  BUDAYA KOTA

Oleh Sutiyono

Sebelum dekade 1990-an, kita sering menikmati  pertunjukan wayang kulit pada acara perhelatan (orang punya kerja), baik khitanan maupun perkawinan.  Selain itu   pertunjukan wayang kulit dapat dijumpai dalam  event-event tradisional, seperti malam Satu Suro, merti dusun, mboyong mbok Sri (ritual pasca panen), dan sadranan yang selalu berputar dalam setiap tahun. Rasanya, jagad  pertunjukan wayang kulit waktu itu tak pernah tenggelam dalam kehidupan masyarakat Jawa, lantaran hampir setiap waktu  orang bisa melihat  pertunjukan tersebut.

Di Yogyakarta, situasinya sekarang telah berubah. Sekarang ini jarang kita dapati seseorang yang tengah mempunyai perhelatan, entah itu perkawinan ataupun khitanan,  merayakannya dengan mengundang  pertunjukan wayang kulit. Jika punya perhelatan tersebut, orang Jawa lebih senang merayakannya tanpa dimeriahkan dengan  pertunjukan wayang kulit, atau   sering disebut  climen  (diam-diam/sederhana). Selain itu,    pertun-jukan wayang kulit kenyataannya juga  sulit dijumpai  dalam event-event tradisional.

Sekarang ini, jika terdapat  pertunjukan wayang kulit biasanya dapat dijumpai dalam acara-acara seperti dies natalis Perguruan Tinggi (PT), lustrum sekolah-sekolah/lembaga pendidikan kursus, ultah media cetak, ultah pabrik, ultah pondok pesantren, hari jadi kabupaten,  syukuran parpol pemenang, syukuran pejabat terpilih,  peresmian gedung pemerintah,  peresmian supermarket/pasar,  di taman budaya,  objek-objek wisata, dan  layar kaca.

Tak tangung-tanggung, pertunjukan wayang kulit  yang didatangkan untuk merayakan acara-acara tersebut adalah  pertunjukan wayang kulit dengan dalang kondang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Joko Edan, dan Ki Purba Asmara,  yang harganya bisa mencapai 80-an juta rupiah. Besarnya harga tersebut karena juga harus menanggung beaya kehadiran bintang tamu, grup lawak, dan grup campursari yang turut serta memeriahkan pertunjukan wayang kulit.

Setiap tahun, pertunjukan wayang kulit tersebut dapat dijumpai di sekitar Yogyakarta, misalnya  pada acara ultah  SKH Kedaulatan Rakyat,  Dies Natalis UNY, dan Dies Natalis UGM yang sekarang perayaannya lebih banyak dipusatkan  di fakultas-fakultas. Sementara PT yang lain, sekolah, lembaga  pendidikan kursus, pasar, pabrik, kantor pemerintah (pusat-daerah), parpol juga menyelenggarakan pentas yang sama, namun tidak rutin  setiap tahun. Jenis dalang yang diundang pun kadang-kadang bukan dalang kondang, mengingat terbatasnya dana yang dimiliki.

Jika ditilik dari pihak penyelenggara pertunjukan wayang kulit dapat dibagi dalam tiga sentra. Pertama, sentra pemerintahan, yaitu  kantor  pemerintah (pusat-daerah) beserta kantor dinas/instansi.  Kedua, sentra pendidikan, yaitu  lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, misalnya PTN, PTS, lembaga pendidikan kursus, dan pondok pesantren. Ketiga,  sentra perdagangan/industri, yaitu  pasar, supermarket, pabrik, media,  dan objek wisata. Tampaknya hanya ketiga sentra  itulah yang mampu meyelenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan beaya besar, karena ketiga sentra  itu merupakan basis-kekuatan  kapital dan sebagai pusat-pusat sumber produksi yang menggerakkan vitalitas budaya kota. Bukankah yang disebut wilayah perkotaan (kosmopolitan) atau ciri-ciri budaya kota adalah munculnya  tiga sentra, antara lain: sentra pemerintahan, sentra pendidikan, dan sentra perdagangan/industri. Ketiga sentra ini tidak akan ditemukan dalam wilayah pelosok pedesaan.

Tentu saja muncul pertanyaan, mengapa ketiga sentra itu hingga sekarang masih menganggap penting hadirnya sebuah pertunjukan wayang kulit? Karena pertunjukan wayang kulit merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif untuk  menyosialisasikan program-program pemerintahan-pembangunan, pendidikan, dan perdagangan/industri. Seperti yang belum lama berselang, Dies Natalis UNY pada pertengahan Mei 2007,  yang dimeriahkan oleh pertunjukan wayang kulit dengan dalang Ki Purba Asmara (tahun lalu oleh Ki Anom Suroto), jelas di antaranya dipesan  untuk menyosialisasikan visi dan misi UNY.  Pesan itu dituturkan dalang, baik lewat adegan kedhatonan  (limbukan) maupun gara-gara. Dua adegan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ini lebih banyak menonjolkan lawakan, sehingga mudah disisipi pesan-pesan sponsor atau visi-misi penyelenggara pertunjukan. Dialog Limbuk-Cangik (adegan kedhatonan) dan Semar-Gareng-Petruk-Bagong (adegan gara-gara dapat dikemas dalam suatu analogi permainan yang bersifat  humanistis interpretatif (pinjam istilah Erving Goffman).  Dalam suatu dialog yang dibangun pada sebuah analogi permainan, mereka (tokoh-tokoh lawakan) tampak luwes, memikat, tidak kaku, lebih informal, dan yang penting humanistis. Cara komunikasi ini mudah diterima penonton/masyarakat  Hal ini berbeda jika sebuah visi-misi atau suatu pesan disampaikan langsung oleh seorang pejabat, yang biasanya tampak tegang dan  kaku, bahkan bicaranya sulit diterima masyarakat karena dianggap abstrak. Oleh karenanya, untuk menjembatani persoalan ini, seni pertunjukan wayang kulit dijadikan sarana komunikasi, karena terbukti lebih efektif.

Di samping untuk sarana komunikasi, pertunjukan wayang kulit itu sendiri juga masih dilihat (digemari)  oleh ribuan penonton, bahkan jutaan pasang mata manusia jika ditayangkan TV. Dalam hubungan ini penonton/masyarakat merupakan sasaran pertunjukan.  Seandainya pertunjukan wayang kulit di Yogyakarta tidak ada yang menonton, tentu lembaga-lembaga pemerintahan, pendidikan, dan industri-perdangan itu tak akan mau mengundang wayang kulit. Sesungguhnya kehadiran penonton pertunjukan wayang kulit, baik dalam jumlah besar maupun kecil mengindikasikan bahwa seni pertunjukan ini masih memiliki masyarakat pendukung. Coba bandingkan dengan seni karawitan yang sudah kehilangan penonton sejak lama. Bagaimanapun pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan di wilayah perkotaan, baik dalangnya kondang maupun tidak, tetap akan selalu dihadiri penonton. Contoh pertunjukan wayang kulit yang berlangsung setiap malam Minggu ke-2 di Sasanahinggil Alun-alun Selatan, entah dalangnya kondang atau tidak, selalu dihadiri penonton.  

Penduduk wilayah perkotaan yang biasa disibukkan oleh pekerjaan siang-malam, kenyataannya tetap menggemari pertunjukan wayang kulit.  Menurut observasi penulis, jumlah penonton  pertunjukan wayang kulit yang setiap tahun digelar dengan dalang kondang  pada acara ultah SKH Kadaulatan Rakyat, dies natalis UGM, UNY ada 3.500-an orang. Perkiraan jumlah sebesar itu berasal dari penghitungan para penonton yang duduk mengikuti jalannya pertunjukan semalam suntuk,  serta mereka yang keluar-masuk, datang-pergi, dan lalu-lalang di sekitar area penonton. Demikian pula pertunjukan wayang kulit dengan dalang kondang yang pernah digelar di  USD, UAJ,  Prima Gama,  Pendopo Taman Siswa, Area Taman Wisata Candi Prambanan, Balai Kota, Pemda Bantul, dan halaman TVRI Yogyakarta  juga mencapai 3.500-an orang. Data ini menun-jukkan bahwa budaya kota Yogyakarta mendukung eksistensi seni pertunjukan wayang kulit, dan sekaligus mencabar persepsi sementara kalangan yang menganggap pertunjukan wayang kulit sudah mulai kehilangan masyarakat pendukungnya.***

        Yogya 7/06/07-Penulis, dosen FBS Univ Negeri Yogyakarta

Posted in Uncategorized | Leave a comment

TRADISI MASYARAKAT DAN GERAKAN PURIFIKASI ISLAM

TRADISI  MASYARAKAT DAN GERAKAN PURIFIKASI ISLAM  

DI TRUCUK,  KLATEN,  JAWA TENGAH

Oleh: Sutiyono

Abstrak

 

Penelitian ini mengungkap hubungan sosial gerakan purifikasi Islam dengan tradisi masyarakat. Adapun tujuan penelitiannya adalah untuk membuktikan tesis Geertz (1960) yang menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah.

Penelitian  ini dilakukan di wilayah pedesaan Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Waktu untuk melakukan studi lapangan dimulai bulan Maret  hingga Oktober  2006. Sebagai subjek penelitian terdiri dari dua kelompok sosial, yaitu: (1) kelompok gerakan purifikasi Islam adalah dai, guru, dan pimpinan Muhammadiyah cabang Kecamatan Trucuk, dan (2) kelompok tradisi masyarakat adalah jurukunci, modin, kyai, dalang, dan pengrawit. Metode pengumpalan data yang paling utama adalah observasi berpartsipasi (participant observer), dan sesudahnya menggunakan  wawancara mendalam serta studi pustaka/dokumentasi. Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan etnografi.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa bentuk gerakan purifikasi Islam sesuai dengan ideologi dan ekspresi identitasnya berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan purifikasi Islam dilaksanakan melalui: (1) Pengajian Ahad Pagi, (2) Gerakan Tarjih, (3) Pembinaan Masyarakat. Tradisi masyarakat juga masih semarak, antara lain: (1) tradisi ziarah, (2) tradisi alam, dan (3) tradisi siklus hidup manusia. Gerakan purifikasi Islam merupakan bentuk penetrasi terhadap tradisi masyarakat. Proses penetrasi itu mendapat reaksi dari masyarakat tradisi, sehingga terjadi benturan nilai-nilai. Kehadiran seni wayang sadat yang dikendalikan oleh penciptanya sekaligus dalangnya, Ki Suryadi yang juga anggota gerakan purifikasi Islam memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Perannya di masyarakat adalah mampu mendudukkan persoalan yang menjadi benturan nilai-nilai antara budaya yang dibawa oleh gerakan purifikasi Islam dengan tradisi masyarakat. Dengan demikian tesis Geertz (1960) yang menyebutkan agama sebagai sistem kebudayaan tidak hanya memainkan peranan yang itegratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, akan tetapi juga berperanan memecah belah terbukti.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

REPOSISI PENDIDIKAN SENI SEBAGAI SENTRA

(Ringkasan Proposal Penelitian FBS 2010)

REPOSISI PENDIDIKAN SENI SEBAGAI SENTRA

 PEMBENTUKAN  INSAN HUMANIS

Oleh Sutiyono

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai bangsa majemuk dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda sering mengalami kegagalan yang berulang-ulang dalam merumuskan demokrasi, hukum, keadilan, dan kesejahteraan. Masalah tersebut terjadi karena dibelokkan oleh pihak-pihak yang melakukan manipulasi yang berakar dari sifat-sifat keserakahan dan primordialisme,  egoisme, suku, ras, dan golongan.  Pihak-pihak tersebut tega melupakan suara sesama anak bangsa sebagai rakyat Indonesia (Sutrisno, 2001). Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks sekarang ini tentunya membuat bangsa Indonesia dapat berpikir menjadi bangsa yang besar dengan berdasar pada keragaman agama, suku, ras, golongan, dan tradisi-budaya masyarakat. Tetapi banyaknya  konflik kekerasan yang terjadi telah  memperlihatkan bahwa pola pikir emosional masih mendominasi masyarakat Indonesia

Dalam hubungan ini, pendidikan seni  mengajarkan materi seni sering dianggap sebagai  wadah pembelajaran yang strategis dalam membentuk manusia menuju karakter  humanis, karena dianggap mampu menghargai kemajekukan. Selain itu yang terpenting dari proses belajar mengajar ini, peserta didik merasa bertambah humanis, karena bagaimanapun mereka dituntut untuk saling kerjasama antar teman dalam mempelajari materi seni. Tampaknya, pembelajaran seni mampu menelorkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai akhlak, dan sebagainya sehingga kesemuannya itu bermuara pada peningkatan kecerdasan majemuk (multiple intelligences).

 Lembaga pendidikan dalam konteks penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan terbentuknya manusia yang  humanis dan tidak mudah terpancing emosi. Dalam hal ini pembelajaran seni  dapat dipandang sebagai proses pembentukan humanisasi yang bermuara pada aspek kecerdasan  dan  akhlak mulia.  Oleh karenanya, dalam penelitian ini akan dirumuskan masalahnya sebagai berikut: (1)  Bagaimanakah  bentuk pembelajaran seni dapat menjadi wahana proses pembentukan insan humanis? (2) Apa saja yang menjadi indikasi proses  pembentukan insan  humanis dalam proses  pembelajaran seni?

D. Deskripsi Teoritik

1. Pembentukan Humanisasi

Katai humanis dapat diambil dari terminologi humanisme, yaitu pemusatan pada pemenuhan harkat-martabat manusia. Memuliakan manusia dianggap paling penting dalam kehidupan sehari-hari.  Dengan kata lain, humanisme diartikan untuk memaknai manu-sia sebagai tujuan pada dirinya dan manusia sebagai nilai tertinggi (Adeline, 2005: 89). Humanisme juga merupakan salah satu tema filsafat yang penting dalam kebudayaan modern. Humanisme juga merupakan paradigma berpikir yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan manusia sebagai pusat perjuangan pembudayaan dan peradaban. Jadi tujuan pokok humanisme adalah keselamatan dan kesempurnaan manusia (Sutrisno, 1995). Apa yang dinyatakan Sutrisno, humanisme dapat dilaksanakan dengan cara dan usaha untuk memanusiakan manusia. Atau berbagai cara yang ditempuh seseorang untuk menghormati manusia, dan bukan sebaliknya malah menghina manusia. 

2. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran  merupakan usaha untuk memahami dan memanusiakan peserta didik (Sastrapratedja, 2001: 26). Seperti tercantum dalam teori budaya, bahwa ketika dua kelompok budaya bertemu, maka selalu terjadi apa yang disebut dengan transaksi atau negosiasi budaya. Dalam hal ini, dua kelompok budaya yang dimaksud adalah guru sebagai kelompok budaya pertama dan peserta didik sebagai kelompok budaya kedua. Keduanya bertemu dalam kelas, maka terjadi transaksi budaya.  Ketika transaksi budaya berlangsung, semestinya tidak berlaku salah satu yang mendominasi, seperti dalam pembelajaran klasik selama ini guru di pihak paling dominan, sedangkan peserta didik sekedar menerima materi pelajaran. Agar transaksi budaya berlangsung secara manusiawi, semestinya guru dan peserta didik sama-sama terlibat membicarakan materi pelajaran.

Sistem pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang cerdas dan berakhlak mulia adalah yang  humanis, yaitu yang memposisikan subjek didik sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang perlu dibantu dan didorong agar memiliki kebiasaan efektif, perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan. Perpaduan ketiganya secara harmonis menyebabkan seseorang atau suatu komunitas meninggalkan ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence), dan kesalingtergantungan (interdependence).

C.  Metode Penelitian

Penelitian ini akan bersandarkan pada pendekatan kualitatif. Sebagai objek dalam penelitian ini adalah rekonstruksi proses pembelajaran seni tari sebagai sentra dan proses pembentukan insan humanis. Maksudnya, penelitian ini ingin mendeskripsikan pemikiran (konstruksi) para informan yang terlibat dalam proses pembelajaran seni tari sebagai wahana pembentukan karakter insan humanis. Instrumen utama dalam penelitian yang mempergunakan metode kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti langsung turun ke lapangan, melakukan observasi di kelas pembelajaran seni tari dan wawancara dengan para informan.

D. Daftar Pustaka

Adeline. 2005. “Eksistensialisme dan Humanisme Sartre”. Jurnal Filsafat Driyarkara  XXVII:1, p. 81-95.

Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas.

Dewantara, Ki Hadjar. 2004. Pendidikan. Kumpulan Karangan. Yogyakarta: Taman Siswa.

Freire, Paulo. 1972. Pedagogy of the Oppreses . Harmondsworth: Penguin Books.

Kartono, St. 2009. “Sekolah Kebangsaan, Sekolah Rakyat Pancasila .” Basis, Nomor 07-08 Tahun ke-58 Juli-Agustus, pp. 41-45.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Nagata, Yoshiyuki dan Ramu Manivannan (ed.). 2002. Prospect and Retrospect of Alternative Education in the Asia-Pacific Region. Tokyo: NIER.

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi . Yogyakarta: Ar-Ruzz Media .

Sastrapratedja, M. 2001. Pendidikan Sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Sutrisno, Mudji. 1994/1995”Paradigma Humanisme?”Driajarkara, STF Jakarta, Tahun XXI: 4., pp. 1-3.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

MEMODIFIKASI BUSANA SENI TRADISI DOLALAK

MEMODIFIKASI BUSANA SENI TRADISI DOLALAK

BERMASALAH

Oleh Dr. Sutiyono

Fak. Bhs & Seni, Univ. Negeri Yogyakarta

Kesan pertama yang muncul bila orang melihat tari Dolalak dari Kabupaten Purworejo  adalah ‘hot’, karena paha mulus sang penari kelihatan terbuka. Namun, tari tradisi tersebut sempat masuk dalam kurikulum Sekolah Dasar di Kabupaten Purworejo.

Pada menjelang akhir tahun 1996, keberadaan tari Dolalak diprotes oleh sekelompok orang Islam. Inti protesnya mempermasalahkan penampilannya yang ‘hot’ tersebut. Gerakan protes itu tidak menghasilkan konsensus yang dapat disepakati bersama, atau tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan kenyataannya tari Dolalak masih tetap ‘hot’ hingga sekarang.

Namun demikian tari Dolalak juga tetap menjadi bahan pergunjingan orang-orang Islam. Solusi untuk menuntaskan masalah ini adalah memodifikasikan celana yang dipakai penari Dolalak, sehingga bagian paha penari tidak terlihat.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

SENI TRADISIONAL DALAM ARUS GLOBALISASI EKONOMI

SENI TRADISIONAL DALAM ARUS GLOBALISASI EKONOMI

Oleh Dr. Sutiyono

Fakultas Bhs & Seni, Univ. Negeri Yogyakarta

Pengantar

Tujuan semula seni tradisional diciptakan adalah untuk menghambakan diri pada siklus kehidupan, serta memberikan daya keseimbangan kosmos yang spiritualistik, Realitanya, seni tradisional digunakan untuk upacara ritual, persembahan kepada Tuhan, dan keselamatan atau kesejahteraan masyarakat.

Seni yang non-materialistik itu harus menghadapi gelombang besar pada era sekarang ini, yaitu arus globalisasi ekonomi. Akibatnya, seni tradisional dapat menjadi barang ekonomis (barang industri, barang konsumsi, atau barang praktis). Jika seni itu sudah materialistik, tentu intensitas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan semakin pudar.

Oleh karena itu, pengaruh globalisasi ekonomi yang mencemaskan masa depan prospek kehidupan seni tradisional, perlu diantisipasi secara teguh, agar nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya tidak luntur dimakan arus tersebut.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

SENI PEWAYANGAN SEBAGAI MEDIA

SENI PEWAYANGAN SEBAGAI MEDIA

PEMASYARAKATAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

 

 

Oleh Sutiyono

Dosen FBS-Univ. Negeri Yogyakarta

 

Kita memiliki kearifan lokal yang sampai  sekarang sudah berumur ratusan  tahun. Agar kearifan lokal  dapat benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari, maka kita perlu melaksanakan nilai-nilainya yang luhur yang terkandung dalam Pancasila itu. Kearifan lokal  yang sudah terurai dalam bentuk norma, nilai, sikap, dan tingkah laku dalam masyarakat itu merupakan kesatuan yang utuh serta tak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan masyarakat. Karena menyatu dengan cara hidup masyarakat serta dapat mengatur dan memberikan arah tingkah laku, maka kearifan lokal   dijadikan sebagai pedoman dan penuntun kegiatan manusia Indonesia dalam melaksanakan pembangunan. Dengan demikian kearifan lokal   menjadi pengarah, sumber cita-cita, dan sumber inspirasi bangsa Indonesia bagi perjuangan pembangunan selanjutnya untuk mencapai dan mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang sudah termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Pelaksanaan nilai-nilai moral dalam kearifan lokal berjalan secara manusiawi dan alamiah, tidak saja lewat pemahaman melalui pemikiran melainkan lewat penghayatan dan pengamalan secara pribadi. Sebab pelaksanaan nilai-nilai kearifan lokal  dirasakan sebagai cara untuk bersama-sama merasakan kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna. Makna nilai kearifan lokal  yang sudah menjadi bagian kehidupan bangsa Indonesia itu perlu dimasyarakatkan. Kegiatan ini perlu dilaksanakan secara terus-menerus dan berangsur-angsur melalui rangkaian proses kegiatan pengenalan, pemahaman, pendalaman, pembinaan  melalui dialog aktif sehingga apa yang diharapkan dapat memotivasi untuk mewujudkannya.

Untuk melaksanakan pemasyarakatan nilai-nilai kearifan lokal diperlukan usaha yang dilakukan secara berencana dan terarah, dengan tujuan agar nilai kearifan lokal  benar-benar dihayati, dilaksanakan, dan diamalkan oleh seluruh warga negara Indonesia, baik dalam kehidupan perseorangan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam rangka mewujudkan pemasyarakatan nilai-nilai kearifan lokal  pembinaannya cukup banyak dilakukan dalam bidang pendidikan. Selanjutnya langkah-langkah yang ditempuh untuk memasyarakatkan nilai-nilai kearifan lokal  dengan menggunakan beberapa jalur, antara lain:

  1. Jalur pendidikan, melalui pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan non formal (luar sekolah), dan pendidikan informal  yang dilaksanakan di dalam masyarakat dan  lingkungan.
  2. Jalur media massa, meliputi media tradisional seperti pewayangan dan bentuk-bentuk seni rakyat lainnya, serta media modern seperti pers, radio, dan televisi.
  3. Jalur organisasi sosial politik (buku kunyit, 1978: 46-48).

Karena banyak jalur yang ditempuh untuk memasyarakatkan nilai-nilai kearifan lokal maka dalam kesempatan ini hanya akan dibahas pemasyarakatan nilai-nilai kearifan lokal melalui jalur media massa dengan menampilkan seni pewayangan sebagai sarana komunikasinya.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

AKTUALISASI NILAI-NILAI SENI TRADISIONAL DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT BERPANCASILA

AKTUALISASI NILAI-NILAI SENI TRADISIONAL DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT BERPANCASILA

 

 

Oleh Sutiyono

Dosen FBS-Universitas Negeri Yogyakarta

Pengantar

Dalam memasyarakatkan dan membudayakan nilai-nilai Pancasila selama ini, telah ditempuh berbagai jalan, seperti penataran, bimbingan, simulasi, dialog aktif, dan sebagainya. Di samping itu sebenarnya ada kiat lain yang dapat dijadikan sebagai strategi kebudayaan untuk mewujudkannya, yaitu pemanfaatan media seni tradisional.

Seni tradisional yang dipergelarkan selalu mengandung pesan-pesan yang menyampaikan konsep-konsep luhur kehidupan manusia. Hal tersebut, ternyata mencerminkan kehidupan masyarakat berpancasila. Maka seni tradisional yang terdiri dari beragam bentuk dan penyajiannya perlu diaktualisasikan nilai-nilainya. Melalui pendekatan semacam ini, internalisasi butir-butir Pancasila diharapkan akan lebih bermakna.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

DAMPAK PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN

DAMPAK PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN

DALAM KEHIDUPAN SENI TRADISIONAL

 

Oleh Sutiyono

Desen FBS-Univeritas Negeri Yogyakarta

Pengantar

Salah satu alasan kuat orang melakukan perjalanan wisata adalah ingin menyaksikan bentuk-bentuk kebudayaan lain yang tidak pernah dijumpai di tempat asalnya. Daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia mempunyai objek wisata budaya yang telah menarik banyak wisatawan untuk mengunjunginya, yaitu seni tradisional. Pengembangan seni tradisional sangat potensial dijadikan atraksi bagi wisatawan.

Dalam mengelola kepariwisataan telah terjadi kecenderungan perubahan formasi penyajian seni tradisional. Dari hasil kajian dapat ditarik kesimpulan bahwa kenyataan penyajian seni tradisional dalam kepariwisataan menimbulkan dampak negatif yaitu pencemaran, komersialisasi, profanisasi nilai-nilai budaya tradisional. Namun dapat berdampak positif karena pariwisata mengangkat seni tradisional yang hampir punah, dan para seniman menjadi kreatif.

Hasil kajian ini dapat dikembangkan untuk mengungkap alternatif tindak lanjut dalam menetralisir dampak yang ditimbulkan oleh pengembangan seni tradisional dalam kepariwisataan.

Posted in Uncategorized | Leave a comment