Hegemoni dalam Kesenian
Oleh Sutiyono
Dosen FBS, Univ. Negeri Yogyakarta
Kehidupan seni yang semula menyejukkan masyarakat pendukungnya tiba-tiba harus menghadapi tekanan (hegemoni) terutama dari pihak penguasa. Tulisan ini akan memahami satu pokok bahasan yaitu antara seni dan kekuasaan. Pemahaman ini menyangkut bentuk afiliasi antara seniman dengan penguasa (state). Aspek sub bidang kajian ini adalah pertunjukan wayang yang cukup mengental dengan kehidupan budaya masyarakat Jawa. Rezim Orde Baru dipandang sebagai negara kuat11 yang selalu dapat menentukan arah pertunjukan wayang kulit, dan sebagai keikutsertaannya untuk mencampuri pertunjukan wayang kulit, guna membangun basis kekuasaan negara melalui seni tradisional. Jika tulisan ini dapat dikembangkan lebih jauh, akan diketahui bagaimana negara (rezim Orde Baru) menanamkan politik kekuasaannya (hegemoni)12 lewat seni tradisional.13
Dalam kajian ini akan terlihat para dalang menerima dan menyadari hegemoni negara (rezim Orde Baru) yang dipandang sebagai bentuk pendektean itu. Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa rezim Orde Baru adalah negara otoriter-birokratik, yang didukung oleh kekuatan militer.14 Negara yang kuat akan mudah untuk menentukan langkah-langkah hegemoni.
Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut eugemonia, seperti telah dipaparkan dalam Encyclpedia Britanica yang menceritakan prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, seperti yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.15
Pengertian hegemoni16 di di era sekarang menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu, yang bukan saja sebagai negara kota yang melakukan hegemoni terhadap negara–negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara pemimpin.17 Dalam konsep hegemoni yang dikemukakan Gramci sebenarnya dapat dielaborasi melalui penjelasannya dari tentang sebuah basis dari supremasi kelas, yakni bahwa supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral.18 Di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukkan mereka, bahkan kalau perlu mempergunakan kekuatan senjata. Di lain pihak, sebuah kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekkan kekuasaan, bahkan bila kelompok sosial itu telah memegang kekuasaan penuh di tangannya, ia masih harus terus memimpin juga, atau selalu melakukan langkah-langkah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Hal ini menunjukkan suatu totalitas yang didukung oleh kesatuan dua konsep, yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Hubungan antara dua konsep menyiratkan tiga hal, yaitu: (1) dominasi dijalankan atas seluruh musuh, sedang bentuk kepemimpinannya dilakukan terhadap segenap sekutu-sekutunya, (2) kepemimpinan adalah prakondisi untuk menakhlukkan aparat negara, dan (3) sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas, baik pengarahan maupun dominasi (hegemoni) dapat dilanjutkan dengan mudah.19
Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Terdapat berbagai cara yang digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.
Dalam konteks ini, Antonio Gramci merumuskan konsepnya yang merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya yang mana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Kemudian dominasi itu sendiri merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan. Pengaruh ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua realitas sosial. Dengan demikian bahwa hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas ditaktor. Di samping itu, hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lain.20
Gramsci juga melihat kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang memerintah dan yang diperintah. Persoalan bagi yang memerintah adalah bagaimana menciptakan kepatuhan dan meniadakan perlawanan dari yang diperintah. Jalan yang ditempuh Gramsci untuk mewujudkan hal itu adalah penguasa mempergunakan cara lewat dominasi atau penindasan dalam bentuk kekuatan (force) dan hegemoni yakni memegang kendali kepempimpinan intelektual dan moral yang diterima secara sukarela lewat kesadaran.21
Dengan penjelasan tentang hegemoni ini terlihat bahwa rezim Orde Baru merupakan pemerintah/negara kuat yang memiliki otoritas tertinggi, serta menjadi kekuatan penentu terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Negara benar-benar mampu memimpin dan mendominasi lapangan kekuasaan dalam berbagai bidang pembangunan dan kenegaraan. Sebagai negara dengan posisi kuat, memimpin, dan mendominasi akan mudah untuk menentukan langkah-langkah hegemoni, guna melestarikan/memperpanjang kekuasaan. Salah satu cara yang digunakan negara untuk menghegemoni, di antaranya melalui institusi yang memiliki dan menentukan struktur kognitif di masyarakat, dalam hal ini adalah seni pewayangan. Dengan konsekwensi, para dalang sebagai kekuatan intelektual di masyarakat, dikendalikan negara untuk menyampaikan konsep, Ideologi, dan kekuasaan yang telah ditata.
11 Di samping negara itu kuat, ia juga merupakan badan yang aktif, dominan, hegemonik dan mandiri dalam membuat kebijakan. Lebih jauh lihat Anthony Giddens dan David Held (ed.). 1987.
Perdebatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Terjemahan. Jakarta:Rajawali Press.
Negara itu juga mempunyai otoritas tertinggi dan menjadi kekuatan penentu terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Lebih jauh lihat Eef Saefulloh Fatah. 1994. “Teori Negara dan Negara Orde Baru: Penjajakan melalui Poulatzas dan Evans”. Prisma 12, Desember, pp. 85-103.
12 Ramlan Surbakti. 1996. “Suksesi atau Demokrasi?” Bestari, Universitas Negeri Malang, p.36.
Selain Ramlan Surbakti terdapat penelitian baru yang mempertanyakan teori hegemoni sebagai cara untuk memahami hubungan warga negara, media, dan negara. Dalam tulisan tersebut juga dibicarakan konseptualisasi kembali hubungan-hubungan itu. Negara dan media dianggap sebagai kekuasaan, yang menentukan propaganda untuk sebuah perubahan sosial (menanamkan kekuasaan) yang mendasar. Hal ini lebih jauh dapat dilihat dalam Rick Clifton Moore. 1998. “Hegemony, Agency, and dialectical tension in Ellul’s technological society”. Journal of Communication, Summer, pp. 129-144.
13 Lihat Soedarsono. 1987. Wayang Wong: The State Ritual in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, yang berisi tentang pertunjukan wayang wong yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta.
Lihat pula Sugeng Nugroho. 2003. “Pertunjukan wayang Gedhog Dengan Berbagai Permasalahannya”. SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IX/02-03, Maret. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, yang berisi di antaranya pertunjukan Wayang gedhog (panji) yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Sunan Paku Buwono X di Surakarta.
14 Ivan Masso. 2002. “Why I Hate Our Official Art?” New statesman, January, pp. 11-12.
15 Heru Hendarto. 1993. “Mengenai Konsep Hegemoni Gramsci”, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: Gramedia, p. 73.
16 Ramlan Surbakti, ibid.
17 James Sperling. 2001. “Neither Hegemony Nor Dominance: Reconsidering German Power in Post Cold-war Europe”. British journal of Political Science, March, pp. 389-425.
18 Nezar Patria dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp. 115-118.
19 Ibid, p. 87.
20 Richard Bellamy. 1987. Modern Italian Social Theory, From Pareto to the Present. Terjemahan Vedi R. Hadiz, Teori Sosial Modern: Perspektif Italia. Jakarta: LP3ES.
21 M.M. Billah. 1996. “Good Gorvenance dan Kontrol Sosial Realitas dan Prospek”. Prisma, 8 Agustus, p. 43.