Buku baru tentang Seni Tradisi

Buku baru tentang Seni Tradisi

Judul Buku                               : PUSPAWARNA SENI TRADISI DALAM PERUBAHAN                                                              SOSIAL-BUDAYA

Penulis                                     : Dr. Sutiyono

Tebal                                        : 200 hal

Penerbit                                   : Kanwa Publisher, Yogyakarta

Cetakan                                    : Desember, 2009

Menghadirkan seni pertunjukan tradisi dalam konteks globalisasi sekarang ini bukanlah sesuatu yang meragukan, pesimis, dan tanpa arah. Ketika jarum jam kebudayaan dunia yang tadinya berada di titik paling bawah dengan sinar meredup, kini mulai berada di atas dengan nyala yang sangat terang, memberikan kesempatan emas untuk berbangkit kembali membawa obor pencerah kebudayaan menghampiri tangga-tangga emas yang diharapkan akan menempati kembali era keemasam seperti masa lampau. Dalam konteks perkembangan seni-budaya keemasan masa lampau adalah jaman Paku BuwonoX di Surakata dan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta.

Berdiskusi tentang seni petunjukan tradisi sering dianggap sebagai suatu pengembaraan kebudayaan. Para pembaca seolah-olah diajak berputar-putar kembali menelusuri waktu untuk menakar apa yang sedang terjadi dalam berbagai peristiwa kebudayaan. Termasuk perubahan sosial apa saja yang juga mewarnai citra kebudayaan. Dalam membicarakan seni pertunjukan tradisi didalamnya juga akan menyentuh pada suatu persoalan itu.

Meskipun banyak diwarnai berbagai macam perubahan, seni pertunjukan tradisi patut kita banggakan sebagai warisan budaya  masyarakat Indonesia yang sekarang tengah menghadapi globalisasi yang tak dapat dielakkan dan banyak merusak sendi-sendi budaya masyarakat. Sebagai warisan sekaligus kekayaan budaya terdapat nilai-nilai penting yang dapat dipergunakan untuk melawan nilai-nilai baru yang kadang-kadang bersifat merusak  yang dibawa melalui arus globalisasi. Di satu sisi, arus globalisasi tidak mesti membawa kerusakan, karena di sisi lain arus globalisasi juga membawa dampak positif. Tetapi bagaimanapun, hadirnya arus globalisasi membawa perubahan dalam sendi-sendi budaya, termasuk seni pertunjukan tradisi.

Keanekaragaman corak perubahan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan tradisi akan dihimpun dalam buku berjudul Puspawarna Seni Tradisi dalam Perubahan Sosial-Budaya yang kami persembahkan kepada segenap pembaca yang budiman. Sifat tulisan yang terkumpul ini bervariasi, mulai dari perubahan seni pertunjukan tradisi pada umumnya, serta yang bersifat khusus pada anak cabang seni pertunjukan tradisi, misalnya seni pewayangan, seni tari, dan seni karawitan.

Dalam rangka perubahan sosial-budaya yang sedemikian itulah menjadikan corak seni pertunjukan tradisi mengalami pasang surut mengikuti alur perubahan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini pariwisata yang dianggap primadona karena dapat mendatangkan devisa sangat berpengaruh terhadap sepak terjang jagad seni pertunjukan tradisi. Pariwisata menawarkan lahan untuk diisi seni petunjukan, tetapi waktu yang tersedia amat sedikit. Posisi seni pertunjukan bagaimanapun caranya harus tunduk dengan alokasi waktu  yang tersedia. Oleh karena seniman butuh makan, apa yang telah ditawarkan pariwisata harus dipenuhi. Sementara seniman yang masih memegang idealisme tinggi menolak tawaran pariwisata tersebut.

Tentu saja kontradiksi dunia seni pertunjukan  dalam mengakomodasi tawaran perubahan sosial-budaya tak dapat terelakkan. Ujung-ujungnya perubahan nilai yang dianut masyarakat serta  perubahan kebutuhan hidup sangat berpengaruh pada hidup dan matinya dunia seni pertunjukan. Pada cabang seni pewayangan justru terlihat semakin menunjukkan eksistensinya di masyarakat, setelah berani mengambil resiko perubahan sosial-budaya.  Hal ini juga dialami cabang seni tari dan karawitan, dan selengkapnya dapat diikuti melalui isi buku ini.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

FENOMENA INTERAKSI PENGANUT ISLAM-KRISTEN

FENOMENA INTERAKSI PENGANUT ISLAM-KRISTEN

DALAM KOMUNITAS SENI ISLAMI LARASMADYA

Sebuah Renungan Sosiologis

 

Oleh Sutiyono

Staf Pengajar FBS, Univ. Negeri Yogya

 

Seni salawatan merupakan ekspresi seni pertunjukan Jawa yang bermuatan agama Islam. Fungsinya untuk berbagai kepentingan hajatan manusia, seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, memperingati seribu hari kematian, khitanan, peresmian rumah baru, upacara menaikkan pusaka masjid, dan berbagai kepentingan lain di masyarakat. Konstruksi masyarakat selama ini, berbagai fungsi tersebut menandakan bahwa suatu upaacaara memerlukan sebuah legitimasi pertunjukan yang bermuatan agama Islam yaitu slawatan karena ia berisi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Meskipun slawatan dianggap sebagai seni pertunjukan Jawa yang bermuatan agama Islam, tetapi para pemainnya tidak semua beragama Islam. Kasus terdapat dalam seni slawatan di Desa Bedingin, Kabupaten Sleman, para pemaiannya selain beragama Islam juga terdapat beberapa orang pemain yang beragama Hindu dan Kristen. Yang menjadi catatan dalam artikel ini, mengapa para pemain yang tidak beragama Islam bersedia menjadi pemain slawatan, dan mengapa pula masyarakat  di sekitarnya juga menerima seni pertunjukan Jawa yang bermuatan agama Islam itu dimainkan oleh orang-orang Hindu dan Kristen. Padahal  berbagai media massa akhir-akhir ini banyak mengekspos kejadian onflik etnis dan agama di berbagai kesempatan, seperti terjadi di Poso (Sulawesi Tengah) dan di Ambon (Maluku). Dalam kesempatan ini keterlibatan para pemain Kristen dan Hindu dalam sebuah seni slawatan akan dikaji melalui aspek-aspek sosiologis.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

NILAI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GLOBAL:

NILAI  SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GLOBAL:

Mengambil Makna Strategis Seni Slawatan

Oleh Sutiyono

Dosen FBS, Univ. Negeri Yogyakarta

Selama ini, masalah kebudayaan dan peradaban kurang men­dapat perhatian, sampai akhirnya terbentur dan merasakan krisis multidimensional yang mengancam disintegrasi nilai-nilai dasar yang menjadi tumpuan kebudayaan dan peradaban bangsa. Kita patut risau karena disintegrasi peradaban bangsa pada dasarnya adalah awal perjalanan disintegrasi bangsa itu sendiri karena tanpa peradaban tidak akan ada bangsa (Hamengku Buwono X, 2001: 6). 

Terjadinya berbagai kerusuhan, kekerasan, huru-hara massal, amuk massa atau konflik sosial antar golongan dan etnis di be­berapa daerah di  Indonesia, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal menunjukkan bahwa kebudayaan bangsa telah rentan.  Padahal para leluhur telah berikrar bahwa kita adalah satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Artinya, pluralitas kebudayaan yang menjadi proses berbangsa juga satu keutuhan.

Tampaknya istilah kebudayaan nasional yang dianggap se­bagai pemersatu dan ramuan berbagai akar kebudayaan daerah hanya merupakan slogan belaka. Istilah kebudayaan hanyalah kamuflase dari upaya untuk menyatukan bangsa yang dibungkus dengan label kebudayaan nasional. Realitasnya, upaya menyatukan kebudaya­an-kebudayan lewat kebudayaan nasional itu berakibat pada tidak diperhatikannya potensialitas kebudayaan yang ada di berbagai daerah etnis yang amat beragam (plural) di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, slogan kebudayaan nasional meng­abai­kan keberagaman (pluralitas) kebudayaan.

Sementara itu, kebudayaan modern yang menyeruak dalam sosok kebudayaan industri dilihat dari satu sisi memang telah mem­berikan kemudahan dan kenikmatan. Namun, di sisi lain telah mengakibatkan terjadinya polusi mental-spiritual, seperti kriminalitas di kota-kota besar, mabuk budaya Barat, dan alienasi manusia (Ismail, 1996:169). Akibat yang kedua ini dapat terjadi karena mengukur pembangunan yang diidentikkan dengan mo­der­nisasi selama ini hanya dilihat pada aspek pertumbuhan eko­nomi. Padahal, mengukur pembangunan juga dilihat dari aspek pe­merataan, kualitas kehidupan, kerusakan lingkungan, keadilan so­sial dan kesinambungan (Budiman, 2000: 2-9).

Gambaran di atas dapat dilihat di kota-kota besar, yakni ber­tam­bahnya bangunan fisik, seperti gedung-gedung pemerintahan, lapangan udara, supermarket, dan perumahan mewah. Kenyataan dari gambaran tersebut menimbulkan kesenjangan sosial yang amat dalam. Seperti diketahui budaya modernisasi yang tidak lain adalah industrialisme menyebabkan kecenderungan manusia men­jadi materialistik yang amat dominan di tengah kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat mengalami distorsi spiritual sebagai akibat mengakarnya budaya industri, yang pada ujung-ujungnya memunculkan sikap egois-hedonistik atau masyarakat menjadi konsumtif. Manusia lebih mementingkan pekerjaan dan memburu materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya, manusia sudah enggan melakukan hubungan kemasyarakatan. Ikatan persaudara­an, persahabatan, dan silaturahmi luntur. Dengan kata lain, kultur kita yang selama ini dianggap luhur masyarakat telah bergeser rapuh.

Di samping hal tersebut, teknologi yang berkembang amat pesat menyebabkan pola komunikasi dan informasi berubah dengan cepat pula. Berbagai informasi dapat diterima dengan kecepatan dahsyat serta menjangkau kawasan luas. Tidak dapat dihindari bahwa selama ini telah datang sebuah isu utama, yakni globalisasi. Di dalam globalisasi terdapat satu aspek penting, yakni jarak hubungan manusia. Tentu saja hubungan lintas kebudayaan antar negara atau antar bangsa menjadi semakin intensif. Akibatnya tidak ada bangsa-bangsa yang hidup di atas dunia ini yang sanggup untuk mengisolasikan (menutup) diri dari proses globalisasi.

Dalam situasi seperti di atas, nilai-nilai kemanusiaan sering diabai­kan. Setiap orang lebih mementingkan dirinya sendiri. Asal mampu mengakses kepentingannya, orang tersebut sudah tidak peduli dengan lingkungannya.  Kehidupan manusia dalam berbagai komunitas kemasyarakatan telah tersobek-sobek. Selanjutnya, sobekan-sobek­an itu hanya mengalir dalam satu arus kehidupan individualistik.

Menghadapi situasi dalam pluralitas budaya demikian itu, kita mestinya tidak hanya dapat meratapinya saja. Paling tidak, kita harus dapat berpikir secara strategis guna mengupayakan apa yang dapat dilakukan untuk memberikan kontribusi yang lebih ber­makna dalam kehidupan manusia akhir-akhir ini. Dalam hubung­an ini, penulis ingin mengetengahkan sebuah genre musik tradisi slawatan, yang tampaknya di samping sebagai seni pertun­jukan, juga mampu memberikan kontribusi nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat pendukungnya (komunitasnya).

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Konflik Kultural

Konlik kultural terjadi di tanah Pasundan. Gara-garanya adalah himbauan Gubernur Jawa Barat terhadap tari jaipong agar gerakan goyang, geol, gitek (3G) serta pemakaian busananya diperhalus (KRM, 8 Februari 2009).  Menanggapi hal tersebut, puluhan orang  seniman berkumpul di rumah Gugum Gumira (seniman ternama asal Bandung), dan mendeklarasikan diri dengan nama Komunitas Peduli Jaipong Jawa Barat. Komunitas ini bertekad akan mengadakan aksi menari jaipong secara massal di halaman Gedung Sate, Bandung dengan mengundang gubernur untuk menyaksikannya. Aksi tersebut jelas merupakan bentuk resistensi atau tindakan protes atas himbauan gubernur.

Tari jaipong itu sendiri merupakan tari tradisional asli dan cirikhkhas Jawa Barat atau gaya Sunda, yang lazim diperagakan oleh para wanita muda lagi cantik, molek, semok, serta aduhai. Tarian ini banyak mengeksploitasi 3G (goyang, geol, gitek). Goyang  dapat diterjemahkan gerak tari secara keseluruhan yang dianggap erotis. Geol sama dengan goyang pantat. Gotek sama dengan goyang dada. Selain itu, pemakaian kostumnya dianggap seronok, karena juga mengeksploitasi bagian tubuh sensitif (daerah istimewa) yang kelihatan amat menonjol. Biasanya ada pada bagian dada atau sekwilda (sekitar wilayah dada). Barangkali kalau pinjam istilah Ustad Harwanto Dahlan disebut bagian sustagen (susu tanpo gendul).

3G dan busana dimasalahkan oleh Gubernur Jabar, karena penampakan secara visual tari jaipong  menonjolkan aurat. Menurut hukum Islam, aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh kelihatan.  Pembagian aurat pria dan wanita berbeda. Khususnya aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali bagian muka dan telapak tangan. Nah, atas nama norma agama itulah Gubernur Jabar menghimbau 3G dan busana tari jaipong yang tampak nyata menonjolkan aurat itu untuk diperhalus. Gubernur tersebut berani melontarkan himbauan tentunya dilandasi nalar agama, karena berhaluan politik dengan posisinya sebagai fungsionaris dari sebuah  partai politik berbasis agama. Di tingkat struktural sendiri memang terjadi persepsi wacana yang bertolak belakang. Gubernurnya memasalahkan tari Jaipong, sedang Wakil Gubernur Dede Yusuf (latar belakang aktor) malah tidak.   

Melihat persoalan tari jaipong tersebut, kita teringat sosok tari rakyat dolalak dari daerah Purworejo yang diprotes oleh sejumlah ulama di depan gedung DPRD menjelang akhir tahun 1996 (KR, 12 Desember 1996).  Kasus yang dihadapi kedua tari rakyat itu hampir sama. Hanya saja protes yang ditujukan tari dolalak, sasarannya tidak hanya terletak pada soal sekwilda (sekitar wilayah dada) tetapi juga soal  sekwilha (sekitar wilayah paha). Dengan demikian persoalan pokok yang dihadapi kedua tari tersebut adalah masalah aurat. Padahal kedua tari itu konon akan dijadikan sebagai identitas budaya (cultural identity) daerah, meskipun masih dalam  wacana. Tari dolalak sebagai identitas budaya daerah Purworejo, sedang jaipong sebagai identitas budaya daerah Jabar.

Memang tak bisa dipungkiri, sebuah sosok pertunjukan dipentaskan di hadapan publik. Pasti pertunjukan itu akan dilihat orang banyak, dan tidak untuk dilihat oleh senimannya sendiri. Seperti juga dalam seni rupa, seniman itu melukis bukan untuk dinikmati sendiri. Hasil lukisannya tentu untuk dilihat orang banyak. Dengan kata lain, seniman membuat karya tentu akan dikomunikasikan kepada orang banyak.

Kecuali hasil karya seniman itu hanya melulu untuk dinikmati senimannya sendiri atau untuk kalangan tertentu saja.   Misal, seniman membuat sebuah lukisan yang amat indah. Lukisan itu dinikmati sendiri, dan sesudahnya disimpan dalam almari. Sewaktu-watu ia membuka almari untuk menikmati lukisan tersebut. Dalam dunia seni, lukisan itu sering dikategorikan I’art Pour I’art (seni untuk seni).  Tetapi untuk ukuran sekarang jarang ada ‘seni untuk seni’. Seorang Ciputra  mengoleksi puluhan lukisan mahal, tetapi tidak untuk dilihat sendiri, sewaktu-waktu ia mengadakan pameran untuk dinimati masyarakat. Di sini berlaku hukum komunikasi. Seniman itu sebagai komunikator yakni orang yang menkomunikasikan karya seni, sedang masyarakat itu komunikan yakni orang yang menikmati karya seni. Medianya adalah karya seni.  

Masyarakat yang menjadi penikmat seni merupakan kelompok sosial yang heterogen, terdiri dari berbagai golongan, antara lain: guru seni, kritikus, konglomerat, birokrat, masyarakat awam yang menyukai seni, dan para seniman itu sendiri. Jika masyarakat yang heterogen itu melihat pertunjukan, tentu masing-masing golongan  akan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas yang dimilki. 

Pinjam istilah dalam khazanah sastra yang menyebutkan ‘the outher was died’ artinya ketika karya sastra dibaca orang lain, maka sang pengarang telah mati. Artinya, pengarang sudah tidak berperan apa-apa, ketika hasil karyanya sudah di tangan orang lain yang sudah membaca. Jadi, para pembacalah yang berdaulat  (dan bebas memfonis) untuk menentukan apakah karya sastra itu baik atau tidak. 

Demikian juga ketika tari jaipong dilihat orang banyak, termasuk salah satunya adalah Gubernur Jabar mestinya juga berlaku ‘the outher was died’. Dalam artian seorang penonton seperti pak gubernur juga boleh mengkritik atau memberi himbauan soal  goyang dan busana yang menurut garis pemikirannya dianggap tidak pas karena menonjolkan aurat. Dengan kata lain, gubernur ingin merubah penyajian tari jaipong.

Himbauan gubernur itu ditanggapi oleh Bangkit Sanjaya, mantan rocker sekaligus promotor tari jaipong, yang menyatakan bahwa himbauan tersebut mengada-ada.  Menurutnya sangat tidak mungkin ada perubahan dalam tarian khas suku Sunda (KR, 8 Februari 2009). Demikian pula masyarakat seni gaya Sunda yang tergabung dalam Komunitas Peduli Jaipong Jawa Barat akan mengadakan aksi menari jaipong secara besar-besaran  di halaman Gedung Sate juga merupakan bentuk perlawanan atas himbauan gubernur. Nah, apakah nantinya himbauan gubernur akan dapat merubah pola tari jaipong atau tidak, dan apakah masyarakat seniman genre Sunda tetap mempertahankan  tari jaipong dengan pola lama, itu semua tergantung dari masyarakat pendukung seni yang heterogen itu untuk menanggapi persoalan tersebut. Yang jelas, sekarang tengah terjadi konflik atau perselisihan kultural di tanah Pasundan.*  

                                                Dr. Sutiyono, ahli sosiologi seni

                                                 Staf Pengajar Fak. Bhs & Seni, Univ. Negeri Yogyakarta

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Menyelamatkan Warisan Budaya

Menyelamatkan Warisan Budaya

Oleh Dr. Sutiyono

Tampak begitu menohok, bahwa Malaysia sudah keterlaluan mengklaim 21 aset budaya bangsa  (KR, 31 Agustus 2009). Aksi keterlaluan Malaysia ini mengulang peristiwa November 2007 karena ia mengklaim Reog Ponorogo. Sekarang ini, total aset budaya yang telah diklaim Malaysia meliputi,  mulai   naskah kuno dari Riau, Sumatra Barat, Sulawesi Tenggara, lagu Rasa Sayange dari Maluku, Soleram dari Jambi,   Reog Ponorogo, tari Pendet, kudalumping, batik, rendang, angklung,   sampai yang terakhir lagu Terang Bulan. Pulau Sipadan dan Ligitan sudah menjadi miliknya sejak 2002,  setelah menjadi sengketa bertahun-tahun kedua negara. Kini pulau Ambalat, dan yang  terakhir pulau Jemur yang menjadi aset Propinsi Riau juga dikalim sebagai milik Malaysia lewat iklan pariwisata. Semuanya ingin diuntal malang (dicaplok), dan jika tidak segera distop, gerakan mengklaim aset  Indonesia  akan berlanjut tak berujung.

Banyaknya aset Indonesia yang telah diklaim itu menunjukkan Malaysia sudah tidak memiliki rasa malu, tidak tahu diri, serakah, dan benar-benar  rai gedheg (tidak punya muka).  Sirahe gembelo (congkak) dan merasa di atas angin, karena secara ekonomi merasa lebih mapan dibanding kita. Oleh karena merasa besar, maka menganggap orang lain menjadi kerdil. Akibatnya begitu gampang mencampakkan orang lain, seperti sebutan Indon bagi TKI di Malaysia merupakan sebutan pelecehan atau istilah pencampakkan. Congkak yang berlebihan disertai nafsu keserakahannya itu jelas merugikan sejumlah warisan budaya kita yang telah dicaploknya .

Kalau hanya satu atau dua saja yang diklaim, kita masih memperlihatkan sikap lunak dan kompromis. Pemerintah kita pun masih terlalu  memelihara toleransi dan selalu memakai cara diplomatik dalam menyelesaikan sengketa. Tetapi sekarang masalahnya kian parah, 21 warisan budaya sudah digagahi. Oleh karenanya, kini masyarakat menuntut pemerintah harus tegas menanggapi klaim Malaysia. lewat berbagai aksi demo besar-besaran yang merebak dimana-mana, seperti terjadi di Denpasar, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Wonogiri, Purworejo, Ponorogo, Solo, dan Medan. Aksi demo ini  menentang klaim Malaysia terhadap sejumlah aset budaya bangsa dan menuntut agar pemerintah Malaysia  mengembalikan aset budaya yang telah diklaimnya itu,  serta  meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, aksi demo yang dimotori massa itu juga ada yang didudkunglangsung para pejabat (misalnya bupati) dan ketua institusi. Bahkan aksi demo di Medan (30 Agustus 2009) dilakukan dengan cara membuat tulisan di lembaran kain putih dengan tinta darah, sebagai simbol berani mati untuk memperjuangkan suatu hak. Terkesan, peristiwa  demonstrasi besar-besaran ini mengalahkan aksi-aksi demonstrasi yang lain, seperti aksi demo memprotes pengrusakan lingkungan, menolak  perang, pelecehan perempuan, penyiksaan TKI, dan anti korupsi. 

Jika perlu setiap aksi demonstrai itu disertai gertakan kekerasan, sebagaimana aksi demo di Medan. Dalam aksi demo ini diujarkan massa siap mempertahankan dan memperjuangkan untuk memperebutkan kembali warisan budaya yang dikalim Malaysia hingga titik darah penghabisan. Dalam khazanah Jawa, usaha seseorang untuk memperebutkan kembali haknya yang diaku orang lain hingga bertekad sampai mati  atau setidaknya melalui jalur wacana kekerasan sering disebut  sadumuk bathuk sanyari bumi.

Khususnya bagi masyarakat Jawa, istilah sadumuk bathuk sanyari bumi masih sebatas wacana kekerasan untuk menggertak orang lain. Biasanya, kalau gertakan tadi sudah berubah pada tahap kedua yaitu marah, akan menyatakan sapa sira sapa ingsun (siapa anda siapa saya). Pada tahap yang ketiga atau terakhir akan melakukan kekerasan fisik untuk merebut hak, dengan menyatakan rawe-rawe rantas malang-malang putung (semua yang ada di depannya harus hancur). Tahap terakhir ini ditempuh setelah usaha diplomatik tidak berhasil.

Ternyata hilangnya suatu warisan budaya tidak bisa dianggap enteng, karena warisan budaya di dalamnya banyak  dijumpai nilai-nilai pendidikan  yang dijadikan tuntunan bagi  kehidupan masyarakat. Bandingkan dengan masyarakat Jepang dan Korea Selatan  yang sangat luar biasa mencintai warisan budaya. Mereka sadar bahwa warisan budaya itu dapat dijadikan sebagai media pembelajaran orang-orang muda. Oleh karena pentingnya nilai-nilai itu, wajar aksi demo besar-besaran merebak di mana-mana untuk mempertahankan warisan budaya yang sedang di klaim Malaysia.

Sementara itu, kita sendiri terus terang selama ini kurang peduli dengan warisan budaya yang amat banyak ragamnya serta  indah bentuknya.  Sebagai bangsa kita sering bangga mengaku berbudaya tinggi, namun dalam kenyataan keseharian, kita tidak punya apresiasi tinggi terhadap warisan budaya. Selain itu,  kita juga tenang-tenang saja ketika  mengetahui warisan budaya satu persatu mengalami kepunahan atau hidup kembang-kempis. Contohnya, seni tradisional kethoprak, purbawanaran, sronthol, nini thowok, dhadhunggawuk, andhe-andhe lumut, dan juga permainan tradisional cublak-cublak suweng, jamuran, lepetan, doktri, surkulonan, dan lain-lain yang dulunya hidup subur,  kenyataannya sekarang sudah susah ditemukan. Masalah yang sering dilontarkan adalah tidak adanya dana untuk menopang kehidupan warisan budaya.

Persoalan warisan budaya itu semestinya dapat diatasi dengan dukungan dana yang didapat melalui pelaksanaan program pembangunan nasional. Padahal sektor kebudayaan merupakan salah satu sektor pembangunan nasional kita yang sering dilupakan atau sektor yang mengalami ketidakurusan. Hal tersebut disebabkan pembangunan dalam bidang kebudayaan dianggap tidak banyak menghasilkan masukan (income) secara kongkrit.  Hampir seluruh pelaksanaan bidang pembangunan selama ini lebih diprioritaskan pada pembangunan secara fisik, seperti pembangunan gedung-gedung sekolah, jalan, jembatan, stadion, pantai, pasar, tasiun, hotel, sarana trasportasi, dan sebagainya.  Akibatnya dalam bidang pembangunan kebudayaan cenderung diabaikan (telantar). Dengan demikian peran pemerintah sangat kecil dalam memperhatikan warisan budaya.

Di samping itu, sektor kebudayaan seperti halnya budaya lokal semakin termarginalisasi. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya proses globalisasi yang didominasi budaya Barat  telah masuk ke wilayah pedesaan, dan kenyataannya tidak terdapat resistensi budaya lokal melawan budaya Barat. Di sisi lain budaya lokal dianggap statis dan tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dan ekspresi masyarakat lokal, sementara hadirnya budaya Barat dianggap dinamis dan dianggap lebih sesuai dengan karakter masyarakat sekarang . Kemungkinan melihat ketidakurusan warisan budaya kita itu, Malayia mencoba untuk mengklaimnya. Artinya, dari pada pemiliknya sendiri tidak peduli memelihara warisan budaya, Malaysia  berusaha untuk mencoba mengklaimnya.

Memperhatikan persoalan tersebut, rasanya kita tidak dapat berpangku tangan. Hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemerintah harus melangkah untuk menyelamatkan  warisan budaya, serta menentukan kiat-kiat khusus agar ia tidak mudah dicuri ataupun diklaim sebagai milik negara lain. Oleh karena itu, menginventarisir kembali warisan budaya  merupakan  sesuatu yang amat krusial untuk dilakukan.  Jika telah dilakukan inventarisasi, maka warisan budaya itu segera didaftarkan melalui HAKI. Terlebih,  warisan budaya dapat dianggap memiliki  nilai-nilai yang  masih kental dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Dalam hemat penulis, meyelamatkan warisan budaya tak cukup hanya dengan menginventarisir dan dicatat resmi oleh HAKI. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana warisan budaya misalnya seni pertunjukan tradisional benar-benar dipraktekkan dan dikembangkan oleh masyarakat. Pemerintah harus berani ambil bagian untuk menyokong dana demi menghidupkan warisan budaya kita. Jika hal tersebut bisa dipraktekkan bersama-sama, kawasan negara kita akan subur dengan kehidupan budaya. Suburnya kehidupan budaya akan menjadi benteng pertahanan budaya sekaligus pertahanan nasional, dan akan membuat miris (takut) negara lain yang ingin mengklaim warisan budaya kita.***

                                                                        Yogyakarta, 2 September 2009

                                                                        Penulis, staf pengajar

                                                                        Fakultas Bahasa dan Seni, UNY.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Dakwah lewat Pertunjukan Seni:

Dakwah lewat Pertunjukan Seni:

Benar-benar Sukses

 

Oleh Sutiyono

Staf Pengajar FBS, Univ. Negeri Yogyakarta

 

 

Pada tahun 1986, diadakan gebyakan pergelaran wayang sadat oleh Suryadi WS, seorang mubaligh Muhammadiyah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SMU Muhammadiyah. Pergelaran  wayang sadat berlangsung selama sekitar empat jam. Ceritanya diambil dari sejarah perjuangan para wali dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, sekitar jaman Demak, contohnya Kepyakan Masjid Demak, Wanasalam, Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandanaran, Wisuda Adipati Demak, dan lain-lain. Pentasnya selalu diawali dengan gendhing Assalamu’alaikum sebagai salam pembuka dan diakhiri dengan gendhing Hamdallah sebagai salam penutup. Musik iringannya bercorak Islami, antara lain lagu istighfar, Robbana, As Salam, Arkanul Iman, dan sebagainya (Haryanto, 1995: 183).  Dalangnya memakai busana muslim ala busana yang dipakai Aa Gym (pemimpin Pondok Pesantren Darul Tuhid Bandung), yakni memakai sarung, baju jubah,  ikat kepala, dan sorban.  Para pengiringnya yang pria memakai sarung, baju takwa, dan serban, dan wanita berbusana muslim. Dalam pergelarannya yang pertama ini dihadiri oleh berbagai eksponen masyarakat, seperti guru-guru di lingkungan sekolah Muhammadiyah, guru agama, mubaligh Muhammadiyah, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Trucuk, dan tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Trucuk.

Melalui pentas seni wayang sadat ini, Suryadi WS sebagai mubaligh Muhammadiyah merasa dapat menyiarkan agama Islam lebih efektif.  Semua adegan dalam pentas wayang tersebut dapat digunakan sebagai saluran dakwah. Realitas di lapangan menyebutkan, bahwa setelah disajikan wayang sadat dapat merubah pola pikir masyarakat yang tadinya sama sekali tidak melalukan sholat lima waktu menjadi orang yang taat agama. Mereka (para penonton)  mengatakan bahwa setelah menonton lakon Ki Ageng Pandanaran, maka pagi harinya datang menghadap Suryadi (dalang), bahwa mereka sekarang melakukan sholat lima waktu.

Perubahan pola pikir itu juga dialami oleh para pendukung iringan (niyaga) yang tadinya abangan berubah  menjadi penganut Islam taat. Demikian juga para penonton (masyarakat) menyatakan sendiri kepada Suryadi, bahwa sudah waktunya melakukan ibadah, setelah melihat pentasnya Suryadi. Kasus pertunjukan wayang sadat dapat dipandang luar biasa, karena lewat pentas seni dapat merubah perilaku sesorang menjadi penganut Islam yang sesungguhnya, bukan Islam KTP atau mengaku Islam secara formal tetapi tidak menjalankan agama Islam yang sesungguhnya.  Dakwah yang dilakukan dengan pentas seni, menurut Suryadi sangat leluasa dan banyak manfaatnya. Dakwah lewat Pertunjukan Seni ini memang Benar-benar Sukses.

Cara Suryadi ini  mirip yang dilakukan Sunan Kalijaga, yaitu pentas wayang merupakan media dakwah yang efektif karena dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama (Saksono, 1996: 91;  Sofwan, 2000: 121-122) . Hal ini disebabkan masyarakat yang datang tidak hanya komunitas Islam taat, akan tetapi dapat menjangkau berbagai kalangan di luar komunitas Islam taat, antara lain kaum abangan. Pertimbangan ini juga membandingkan cara dakwah konvensional yang dilakukan lewat forum  pengajian, yang biasanya hanya diikuti oleh kalangan Islam yang sudah menjalankan sholat lima waktu. Itulah sebabnya Suryadi menamakan pergelaran wayangnya ialah wayang sadat singkatan dari sarana dakwah dan tabligh. Budayawan Kuntowijoyo sempat memuji, bahwa wayang sadat merupakan aset kesenian  satu-satunya yang dimiliki Muhammadiyah.

Perjalanan wayang sadat hingga sekarang sudah diundang pentas oleh berbagai kalangan dan lembaga, mulai dari pribadi, tokoh-tokoh NU, pondok pesantren, Kantor Departemen Agama, TVRI, RRI, festival Istiqlal, universitas, dan sebagainya

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PUSPAWARNA SENI TRADISI

Judul Buku                               : PUSPAWARNA SENI TRADISI

                                                      DALAM PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA

Penulis                                      : Dr. Sutiyono

Tebal                                        : 200 hal

Penerbit                                   : Kanwa Publisher, Yogyakarta

Cetakan Pertama                   : Desember, 2009

Menghadirkan seni pertunjukan tradisi dalam konteks globalisasi sekarang ini bukanlah sesuatu yang meragukan, pesimis, dan tanpa arah. Ketika jarum jam kebudayaan dunia yang tadinya berada di titik paling bawah dengan sinar meredup, kini mulai berada di atas dengan nyala yang sangat terang, memberikan kesempatan emas untuk berbangkit kembali membawa obor pencerah kebudayaan menghampiri tangga-tangga emas yang diharapkan akan menempati kembali era keemasam seperti masa lampau. Dalam konteks perkembangan seni-budaya keemasan masa lampau adalah jaman Paku BuwonoX di Surakata dan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta.

Berdiskusi tentang seni petunjukan tradisi sering dianggap sebagai suatu pengembaraan kebudayaan. Para pembaca seolah-olah diajak berputar-putar kembali menelusuri waktu untuk menakar apa yang sedang terjadi dalam berbagai peristiwa kebudayaan. Termasuk perubahan sosial apa saja yang juga mewarnai citra kebudayaan. Dalam membicarakan seni pertunjukan tradisi didalamnya juga akan menyentuh pada suatu persoalan itu.   

Meskipun banyak diwarnai berbagai macam perubahan, seni pertunjukan tradisi patut kita banggakan sebagai warisan budaya  masyarakat Indonesia yang sekarang tengah menghadapi globalisasi yang tak dapat dielakkan dan banyak merusak sendi-sendi budaya masyarakat. Sebagai warisan sekaligus kekayaan budaya terdapat nilai-nilai penting yang dapat dipergunakan untuk melawan nilai-nilai baru yang kadang-kadang bersifat merusak  yang dibawa melalui arus globalisasi. Di satu sisi, arus globalisasi tidak mesti membawa kerusakan, karena di sisi lain arus globalisasi juga membawa dampak positif. Tetapi bagaimanapun, hadirnya arus globalisasi membawa perubahan dalam sendi-sendi budaya, termasuk seni pertunjukan tradisi.  

Keanekaragaman corak perubahan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan tradisi akan dihimpun dalam buku berjudul Puspawarna Seni Tradisi dalam Perubahan Sosial-Budaya yang kami persembahkan kepada segenap pembaca yang budiman. Sifat tulisan yang terkumpul ini bervariasi, mulai dari perubahan seni pertunjukan tradisi pada umumnya, serta yang bersifat khusus pada anak cabang seni pertunjukan tradisi, misalnya seni pewayangan, seni tari, dan seni karawitan.

Dalam rangka perubahan sosial-budaya yang sedemikian itulah menjadikan corak seni pertunjukan tradisi mengalami pasang surut mengikuti alur perubahan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini pariwisata yang dianggap primadona karena dapat mendatangkan devisa sangat berpengaruh terhadap sepak terjang jagad seni pertunjukan tradisi. Pariwisata menawarkan lahan untuk diisi seni petunjukan, tetapi waktu yang tersedia amat sedikit. Posisi seni pertunjukan bagaimanapun caranya harus tunduk dengan alokasi waktu  yang tersedia. Oleh karena seniman butuh makan, apa yang telah ditawarkan pariwisata harus dipenuhi. Sementara seniman yang masih memegang idealisme tinggi menolak tawaran pariwisata tersebut.

 Tentu saja kontradiksi dunia seni pertunjukan  dalam mengakomodasi tawaran perubahan sosial-budaya tak dapat terelakkan. Ujung-ujungnya perubahan nilai yang dianut masyarakat serta  perubahan kebutuhan hidup sangat berpengaruh pada hidup dan matinya dunia seni pertunjukan. Pada cabang seni pewayangan justru terlihat semakin menunjukkan eksistensinya di masyarakat, setelah berani mengambil resiko perubahan sosial-budaya.  Hal ini juga dialami cabang seni tari dan karawitan, dan selengkapnya dapat diikuti melalui isi buku ini.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Rencana Cover buku:

                                                Dr. Sutiyono

 

 

PRIBUMISASI ISLAM

MELALUI

SENI-BUDAYA JAWA

 

 

 

 

 

Buku ini cocok dibaca oleh segenap

Pecinta seni, budaya, sastra, agama, politik, dll

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PRIBUMISASI ISLAM MELALUI

PRIBUMISASI  ISLAM

Judul Buku            : PRIBUMISASI  ISLAM MELALUI SENI-BUDAYA JAWA

Penulis                   : Dr. Sutiyono

Tebal Buku           :136 hal

Penerbit                : Insan Persada, Yogyakarta

Cetakan Pertama: Juni,  2010

Buku referensi berjudul PRIBUMISASI ISLAM MELALUI SENI-BUDAYA JAWA ini secara umum membicarakan peran sebuah seni pertunjukan musik tradisi Jawa, yang kenyataannya dapat dimaknai secara strategis untuk kepentingan  dakwah Islam.  Di dalamnya dapat dilihat pemahaman awal mengenai langkah-langkah kultural syiar Islam yang diekspresikan lewat media seni-budaya Jawa. Di samping itu,  paling tidak menjadi salah satu kontribusi dalam menunjang perkembangan dakwah Islam  di Indonesia, dan dapat menjadi bagian perspektif komunikasi-dakwah para praktisi agama. Sejauh ini, penerbitan buku yang melibatkan dua terminologi agama dan seni-budaya, kenyataannya masih sangat langka. Untuk itu, rasanya cukup krusial suguhan buku ini ke hadapan para pembaca yang budiman.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Hegemoni dalam Kesenian

Hegemoni dalam Kesenian

 

Oleh Sutiyono

Dosen FBS, Univ. Negeri Yogyakarta

 

 

Kehidupan seni yang semula menyejukkan masyarakat pendukungnya tiba-tiba harus menghadapi tekanan (hegemoni) terutama dari pihak penguasa. Tulisan ini akan memahami satu pokok bahasan yaitu antara seni dan kekuasaan. Pemahaman ini menyangkut bentuk afiliasi antara seniman dengan penguasa (state). Aspek sub bidang kajian ini adalah pertunjukan wayang  yang cukup mengental dengan kehidupan budaya masyarakat Jawa. Rezim Orde Baru dipandang sebagai negara kuat11 yang selalu dapat menentukan arah pertunjukan wayang kulit, dan  sebagai keikutsertaannya untuk mencampuri  pertunjukan wayang kulit, guna membangun basis kekuasaan negara melalui seni tradisional. Jika tulisan ini dapat dikembangkan lebih jauh,  akan diketahui bagaimana negara (rezim Orde Baru)  menanamkan politik kekuasaannya (hegemoni)12 lewat seni tradisional.13

            Dalam kajian ini  akan terlihat para dalang  menerima dan menyadari  hegemoni negara (rezim Orde Baru) yang dipandang sebagai bentuk pendektean itu. Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa rezim Orde Baru adalah negara otoriter-birokratik, yang didukung oleh kekuatan militer.14 Negara yang kuat akan mudah untuk menentukan langkah-langkah hegemoni.

Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut eugemonia, seperti telah dipaparkan dalam Encyclpedia Britanica yang menceritakan prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim  oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, seperti yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.15

            Pengertian hegemoni16 di di era sekarang menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu, yang bukan saja sebagai negara kota yang melakukan hegemoni terhadap negara–negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara pemimpin.17 Dalam konsep hegemoni yang dikemukakan Gramci sebenarnya dapat dielaborasi melalui penjelasannya dari tentang sebuah basis dari supremasi kelas, yakni bahwa supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral.18 Di satu pihak, sebuah  kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan  atau menundukkan mereka, bahkan kalau perlu mempergunakan kekuatan senjata. Di lain pihak, sebuah kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka.   Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekkan kekuasaan, bahkan bila kelompok sosial itu telah memegang kekuasaan penuh di tangannya, ia masih harus terus memimpin juga, atau selalu melakukan langkah-langkah untuk melanggengkan kekuasaannya.

            Hal ini menunjukkan suatu totalitas yang didukung oleh kesatuan dua konsep, yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Hubungan antara dua konsep menyiratkan tiga hal, yaitu: (1) dominasi dijalankan atas seluruh musuh, sedang bentuk kepemimpinannya dilakukan terhadap segenap sekutu-sekutunya, (2) kepemimpinan adalah prakondisi untuk menakhlukkan aparat negara, dan (3) sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas, baik pengarahan maupun dominasi (hegemoni) dapat dilanjutkan dengan mudah.19

            Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Terdapat berbagai cara yang digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.

            Dalam konteks ini, Antonio Gramci merumuskan konsepnya yang merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya yang mana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Kemudian dominasi itu sendiri merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan. Pengaruh ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan  semua realitas sosial. Dengan demikian bahwa hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas ditaktor. Di samping itu, hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis  satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lain.20 

            Gramsci juga melihat kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang memerintah dan yang diperintah. Persoalan bagi yang memerintah adalah bagaimana menciptakan kepatuhan dan meniadakan perlawanan dari yang diperintah. Jalan yang ditempuh Gramsci untuk mewujudkan hal itu adalah penguasa mempergunakan cara lewat dominasi atau penindasan dalam bentuk kekuatan (force) dan hegemoni yakni memegang kendali kepempimpinan intelektual dan moral yang diterima secara sukarela lewat kesadaran.21    

Dengan penjelasan tentang hegemoni ini terlihat bahwa rezim Orde Baru merupakan pemerintah/negara kuat yang memiliki otoritas tertinggi, serta menjadi kekuatan penentu terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Negara benar-benar mampu memimpin dan mendominasi lapangan kekuasaan dalam berbagai bidang pembangunan dan kenegaraan. Sebagai negara dengan posisi kuat, memimpin, dan mendominasi akan mudah untuk menentukan langkah-langkah hegemoni, guna melestarikan/memperpanjang kekuasaan. Salah satu cara yang digunakan negara untuk menghegemoni, di antaranya melalui institusi yang memiliki dan menentukan struktur kognitif di masyarakat, dalam hal ini adalah seni pewayangan. Dengan konsekwensi, para dalang sebagai kekuatan intelektual di masyarakat, dikendalikan negara untuk menyampaikan konsep, Ideologi, dan kekuasaan yang telah ditata.


11 Di samping negara itu kuat, ia juga merupakan badan yang aktif, dominan, hegemonik dan mandiri dalam membuat kebijakan. Lebih jauh lihat Anthony Giddens dan David Held (ed.). 1987. Perdebatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Terjemahan. Jakarta:Rajawali Press.

Negara itu juga mempunyai otoritas tertinggi dan menjadi kekuatan penentu terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Lebih jauh lihat Eef Saefulloh Fatah. 1994. “Teori Negara dan Negara Orde Baru: Penjajakan melalui Poulatzas dan Evans”. Prisma 12, Desember, pp. 85-103.  

12 Ramlan Surbakti. 1996. “Suksesi atau Demokrasi?”  Bestari, Universitas Negeri Malang,  p.36.

   Selain Ramlan Surbakti terdapat penelitian baru yang mempertanyakan teori hegemoni sebagai cara untuk memahami hubungan warga negara, media, dan negara. Dalam tulisan tersebut juga dibicarakan konseptualisasi kembali hubungan-hubungan itu. Negara dan media dianggap sebagai kekuasaan, yang menentukan propaganda untuk sebuah perubahan sosial (menanamkan kekuasaan) yang mendasar. Hal ini lebih jauh dapat dilihat dalam Rick Clifton Moore. 1998. “Hegemony, Agency,  and dialectical tension in Ellul’s technological society”. Journal of Communication, Summer, pp. 129-144.

13 Lihat Soedarsono. 1987. Wayang Wong: The State Ritual in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, yang berisi tentang pertunjukan wayang wong yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta.

Lihat pula Sugeng Nugroho. 2003. “Pertunjukan wayang Gedhog Dengan Berbagai Permasalahannya”. SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IX/02-03,  Maret. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, yang berisi di antaranya pertunjukan Wayang gedhog (panji) yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Sunan Paku Buwono X  di Surakarta.   

14 Ivan Masso. 2002. “Why I Hate Our Official Art?” New statesman, January, pp. 11-12.

15 Heru Hendarto. 1993. “Mengenai Konsep Hegemoni Gramsci”, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: Gramedia,  p. 73. 

16 Ramlan Surbakti,  ibid.

17 James Sperling. 2001. “Neither Hegemony Nor Dominance: Reconsidering German Power in Post Cold-war Europe”. British journal of Political Science, March, pp. 389-425.

18 Nezar Patria dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp. 115-118.

19 Ibid, p. 87.

20 Richard Bellamy. 1987.  Modern Italian Social Theory, From Pareto to the Present. Terjemahan Vedi R. Hadiz, Teori Sosial Modern: Perspektif Italia. Jakarta: LP3ES.

21 M.M. Billah. 1996. “Good Gorvenance dan Kontrol Sosial Realitas dan Prospek”.    Prisma, 8 Agustus, p. 43.

Posted in Uncategorized | Leave a comment